Keinginan adalah lubang yang tak berdasar, keserakahan tidak mengenal batas. Keinginan “mencari” timbul dari pikiran untuk “memiliki”. Selanjutnya akan ada kesenangan sementara karena memperoleh sesuatu, dan penderitaan karena kehilangan sesuatu.
Benda yang ada di bawah hidung ini sungguh lebih luas dan dalam daripada lautan : mulut sekecil apapun tidak pernah dapat terpuasi.
Dari keinginan, terjadi banyak perubahan. Apa yang kita miliki selalu bertambah dan berkurang setiap harinya, dari tahun ke tahun. Kesenangan duniawi yang semu sungguh menjemukan bagi orang bijaksana.
Di dunia ini, adakah sesuatu yang berjalan sepenuhnya menurut kehendak kita? Kita tidak memperoleh apa yang kita sukai, yang kita peroleh tidak memuaskan kita. Dari keinginan timbul penderitaan. Untuk mengurangi penderitaannya, seseorang harus mengenal rasa cukup dan mengetahui saatnya untuk berhenti.
Dalam menjalani kehidupan ini, mereka yang memiliki ambisi besar harus menggunakan energi yang besar pula untuk memuaskan kebutuhan mereka, sementara mereka yang memiliki ambisi dan keingan sewajarnya, tidak banyak bercemas-diri dan dapat menjalani hidupnya dengan tenang.
Pikiran yang baik menunjukkan batin yang bersih. Jika pikiran yang penuh keinginan dibiarkan terus berkembang, ia akan mengotori batin. Bersihkanlah batin dengan mengendalikan keinginan-keinginanmu. Bila batinmu bebas dari keserakahan, segala sesuatunya jadi mudah, jalan menuju ketenangan dan kebebasan terbuka sudah.
Apa yang kita sebut belenggu bukanlah suatu benda, melainkan keadaan batin seseorang yang tidak pernah puas.
Kaya atau miskin, hina atau terhormat, tidak seorang pun dapat terlepas dari penderitaan dan belenggu kehidupan.
Jangan terlalu terikat pada segala sesuatu. Alam semesta dan segala isinya tidak lebih dari gabungan Empat Unsur ( tanah, air, api dan udara ). Kombinasi unsur-unsur ini selalu berubah, tidak kekal, kotor, mengandung benih penderitaan, dan tidak memiliki substansi.
Pada dasarnya, mahkluk hidup mampu membebaskan diri dari kemelekatan, untuk mencapai kehidupan yang harmonis, bahagia, damai dan tenteram. Tapi semuanya menjadi berantakan akibat prinsip yang menekankan “mengumpulkan sebanyak-banyaknya demi laba”. Maka keterikatan datang dan kejahatan lahir, semua karena “hasrat tak pernah terpuaskan”
Semua mengejar “kepunyaan”. Apa itu “kepunyaan”? Menjadi terjerat, itulah “kepunyaan”
Janganlah berlebih-lebihan di kala menghadapi keperihan. Jika batinmu resah, tak akan ada pembebasan.
Kubur keterikatan batin masa lampau, dan lahirkanlah kebebasan hari ini.
Berlatihlah hingga batinmu mencapai keheningan. Dengan batin yang tenang dan hening, engkau dapat mengendalikan diri dalam situasi apapun.
Jika engkau dapat menerima segala sesuatu sebagaimana adanya, engkau tidak akan takut atau khawatir terhadap penderitaan.
Supaya hidupmu bahagia, jangan biarkan hubunganmu dengan sesama diwarnai oleh pembicaraan yang tidak bermakna. Batinmu akan terbelenggu dan ternoda.
Perluas wawasan pikiranmu, dan engkau dapat melepaskan belenggu dengan wajar. Mengapa orang terbelenggu? Karena wawasan pikirannya terlalu sempit, sehingga ia tidak dapat menerima orang lain yang tidak “aku” sukai atau yang lebih daripada “aku”
Marah adalah belenggu bagi dirimu dan orang lain. Ke dalam, engkau menumbuhkan kegelisahan di dalam hatimu; ke luar, engkau membuat susah dan menanamkan benih permusuhan di hati orang lain.
Belenggu batin muncul dalam hubungan kita dengan sesama, saat itulah kita harus mengatasinya.
Hadapilah segala penderitaan dan kesulitan hidup sebahai sesuatu yang “menyemarakkan” hidupmu, sebagai guru yang baik.
Menjalani hidup dari hari ke hari sama seperti membuka halaman baru sebuah buku; orang-orang, kejadian, atau kekhawatiran yang kau jumpai setiap hari adalah paragraf-paragraf yang ada di dalamnya.
Melalui kesulitan kita peroleh kearifan. Tapi ingat, hanya kesulitan macam itu yang berguna.
Ada sebuah koan yang menunjukkan betapa rasa takut dan khawatir mengenai hal-hal yang umum adalah manifestasi dari keterikatan yang dungu : Ketika sedang bermeditasi, tiba-tiba seorang guru Zen melihat suatu figure tanpa kepala. >Ia berkata : “Tanpa kepala, tidak pernah sakit kepala.” Selesai bicara begitu, pemandangan itu lenyap. Tidak berapa lama, ia melihat sebuah kepala dan kaki-tangan tanpa badan. Ia berkata : “Tanpa hati dan perut, tidak ada rasa lapar dan khawatir.” Kemudian itupun lenyap. Menyusul muncul dalam benaknya, tubuh dan kepala tanpa kaki, dan ia berkata : “Tanpa kaki, tidak berlari-lari dalam kebingungan.”
Akhirnya semua penampakan itu lenyap, guru Zen mencapai pencerahan…. Ternyata noda-noda batin tidak memiliki substansi.
Pada dasarnya, mahkluk hidup mampu membebaskan diri dari kemelekatan, untuk mencapai kehidupan yang harmonis, bahagia, damai dan tenteram. Tapi semuanya menjadi berantakan akibat prinsip yang menekankan “mengumpulkan sebanyak-banyaknya demi laba”. Maka keterikatan datang dan kejahatan lahir, semua karena “hasrat tak pernah terpuaskan”
Semua mengejar “kepunyaan”. Apa itu “kepunyaan”? Menjadi terjerat, itulah “kepunyaan”
Janganlah berlebih-lebihan di kala menghadapi keperihan. Jika batinmu resah, tak akan ada pembebasan.
Kubur keterikatan batin masa lampau, dan lahirkanlah kebebasan hari ini.
Berlatihlah hingga batinmu mencapai keheningan. Dengan batin yang tenang dan hening, engkau dapat mengendalikan diri dalam situasi apapun.
Jika engkau dapat menerima segala sesuatu sebagaimana adanya, engkau tidak akan takut atau khawatir terhadap penderitaan.
Supaya hidupmu bahagia, jangan biarkan hubunganmu dengan sesama diwarnai oleh pembicaraan yang tidak bermakna. Batinmu akan terbelenggu dan ternoda.
Perluas wawasan pikiranmu, dan engkau dapat melepaskan belenggu dengan wajar. Mengapa orang terbelenggu? Karena wawasan pikirannya terlalu sempit, sehingga ia tidak dapat menerima orang lain yang tidak “aku” sukai atau yang lebih daripada “aku”
Marah adalah belenggu bagi dirimu dan orang lain. Ke dalam, engkau menumbuhkan kegelisahan di dalam hatimu; ke luar, engkau membuat susah dan menanamkan benih permusuhan di hati orang lain.
Belenggu batin muncul dalam hubungan kita dengan sesama, saat itulah kita harus mengatasinya.
Hadapilah segala penderitaan dan kesulitan hidup sebahai sesuatu yang “menyemarakkan” hidupmu, sebagai guru yang baik.
Menjalani hidup dari hari ke hari sama seperti membuka halaman baru sebuah buku; orang-orang, kejadian, atau kekhawatiran yang kau jumpai setiap hari adalah paragraf-paragraf yang ada di dalamnya.
Melalui kesulitan kita peroleh kearifan. Tapi ingat, hanya kesulitan macam itu yang berguna.
Ada sebuah koan yang menunjukkan betapa rasa takut dan khawatir mengenai hal-hal yang umum adalah manifestasi dari keterikatan yang dungu : Ketika sedang bermeditasi, tiba-tiba seorang guru Zen melihat suatu figure tanpa kepala. >Ia berkata : “Tanpa kepala, tidak pernah sakit kepala.” Selesai bicara begitu, pemandangan itu lenyap. Tidak berapa lama, ia melihat sebuah kepala dan kaki-tangan tanpa badan. Ia berkata : “Tanpa hati dan perut, tidak ada rasa lapar dan khawatir.” Kemudian itupun lenyap. Menyusul muncul dalam benaknya, tubuh dan kepala tanpa kaki, dan ia berkata : “Tanpa kaki, tidak berlari-lari dalam kebingungan.”
Akhirnya semua penampakan itu lenyap, guru Zen mencapai pencerahan…. Ternyata noda-noda batin tidak memiliki substansi.
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g:
:h: :i: :j: :k: :l: :m: :n: :o: :p:
Posting Komentar